AYAT-AYAT
TABALIGH
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Tafsir”
DISUSUN OLEH :
1.
Erma
Ayu Septiani (B03211008)
Pembimbing:
Prof. Dr. Moh.
Ali Aziz, M.Ag
FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN BKI/C1
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2011
TAFSIR
AYAT- AYAT TABALIGH
A.
QS Al- Maidah [5] : 99 juz
7: hal 93-97
Artinya : “ Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah
penyampaian, dan Allah mengetahui apa yang kamau lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan”.
1. Tafsir Ibnu Kasir juz
7: hal 93-97
Dan
diharamkan katas kalian (menangkap) binatang buruan di darat, selama kalian
dalam ihram.(Al- maidah: 96)
Yakni selagi kalian
masih dalam ihram diharamkan atas kalian melakukan pemburuan terhadap pemburuan
binatang darat. Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan keharaman
perbuatan tersebut. Untuk itu, apabila seseorang yang sedang ihram sengaja
melakuakan perburuan, berdosalah ia dan dikenakan denda. Atau jika mereka
melakukan secara keliru, maka dia harus membayar dendanya, dan dia di haramkan
memakan hasil buruannya; karena binatang buruannya itu bagi dia kedudukannya
sama denagn bangkai, demikian pula
bagi orang lain dari kalangan orang- orang yang sedang ihram, juga orang- orang
yang bertahallul, menurut Imam Malik dan menurut salah satu dari dua pendapat
Imam Syafii. Hal yang sama dikatakan oleh Ata, Al-Qasim, Salim, Abu Yusuf, dan
Muhammad Ibnu Hasan serta lain- lainnya.
Jika si muhrim yang
memakannnya atau memakan sebagian dari binatang buruannya, apakah dia harus
membayar denda yang ke dua? Ada dua pendapat mengenainya di kalangan para
ulama.
pendapat pertama
mengatakan harus membayar denda kedua.Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ibnu
Juraij, dari Ata yang mengatakan, “ Jika orang muhrim yang bersangkutan sempat
menyembelihnya, lalu memakannya, maka dia di kenakan dua kifarat.” Pendapat ini
dipegang oleh segolongan ulama.
Pendapat kedua
mengatakan, tidak ada denda atasnya karena memakan hasil buruannya. Pendapat
ini di nashkan oleh Malik ibnu Anas. Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa
pendapat inilah yang dipegang oleh semua mazhab ulama fiqih di kota- kota besar
dan jumhur ulama. Kemudian Abu Umar menyamakannya dengan masalah” seandainya
seseorang mengnjak dan menginjak serta menginjakan lagi sebelum ia dikenai human had, maka sesungguhnya yang di
wajibkan atasnya ialah dikenai sekali hukuman had.”
Imam Abu Hanifah
mengatakan, si pemakan di kenai harga sejumlah yang di makannya.
Abu Saur mengatakan,”
Apabila seorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan, maka ia harus
membayar dendanya, dan dihalalkan baginya memakan binatang buruannya itu; hanya
saja iku memakruhkannya bagi orang yang membunuhnya,” karena ada hadis
Rasulullah saw. Yang mengatakan :
Binatang
buruan darat dihalalkan bagi kalian, sedangkan kalian dalam keadaan berihram,
selagi kalian bukan yang memburunya atau bukan diburu untuk kalian.
Hadis ini akan
dijelaskan kemudian. Kalimat yang mengatakan ‘boleh memakannya bagi orang yang
membunuhnya’ merupakan hal yang garib
(aneh)
Adapun bagi selain
orang yang membunuhnya, masalahnya masih diperselisihkan, dan yang telah kami
sebutkan ialah pendapat yang mengatakan tidak boleh. Sedangkan ulama lainnya
mengaatakan selain pembunuhnya diperbolehkan memakannya, baik ia sedang ihram
ataupun telah bertahallul, karena berdasarkan hadis yang baru disebutkan tadi.
Adapaun bila seseorang
yang telah telah bertahallul membunuh binatang buruan, lalu ia menghadiahannya
kepada orang yang berihram, maka sebagaian ulama ada yang mengatakan boleh
secara mutlak tanpa ada rincian antara perburuan yang dilakukan secara sengaja
untuknya atau tidak. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Umar ibnu Abdul Bar,
dari Umar ibnu Khattab, Abu Hurairah, Az-Zubair ibnu Awwam, Ka’ab Al-Anbar,
Mujahid dan Ata dalam suatu riwayatnya, dan sa’id ibnu Jabair. Hal yang sama
telah dikatakan oleh ulama Kufah.
Ibnu Jarir mengatakan
telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Bazi’, telah
menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Mufaddal, telah menceritakan kepada kami
Sa’id, dari Qatadah, bahwa Abu Huraiah pernah ditanya mengenai daging dari
hasil buruan yang dilakukan oleh orang yang bertahallul , apakah orang yang
sedang ihram boleh memakanya. Kemudian ia menemui Umar ibnu Khattab, lalu
menceritakan kepadanya tentang apa yang baru dialaminya, maka Umar bnu Khattab
berkata kepadanya (Abu Hurairah),” Seandainya kamu memberi mereka fatwa selain
dari ittu, niscaya aku akan membuat kepalamu terasa sakit ( karena dipukul).”
Ulama lain mengatakan,
orang yang sedang ihram sama sekali tidak boleh memakan hasil buruan. Pendapat
ini melarangnya secara mutlak karena berdasarkan kepada keumuman makna yang
tekandung di dalam ayat yang mulia ini.
Abdur
Razzaq telah meriwayatkan dari Ma’mar, dari Tawus dan Abdul Karim, dari ibnu
Abu Asiah, dan Tawus dari Ibnu Abbas, bahwa ia menilai mekruh bila orang yang
sedang ihram memakan hasil buruan. Dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat yang
menerangkan tentangnya bersidat mubham
(misteri), yakni firman Allah swt:
Di
haramkan atas kalian (menangkap) binatang buruan darat, selama kalian dalam
ihram.(Al-Maidah:96)
Abdur Razzaq mengatakan
telah menceritakan kepada Ma’mar, dari Az-Zuhri. Dari Ibnu Umar, bahwa dia
memakruhkan orang muhrim(yang sedang ihram) bila memakan daging hasil buruan
dalam keadaan bagaimanapun.
Ma’mar mengatakan,
telah menceritakan kepadanya Ayyub, dari Nafi’ dari Ibu Umar hal yang semisal.
Ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa hal yang sama telah dikatakan oleh Tawus dan
Jabir ibnu Zaid.pendapat inilah yang dikatakan oleh As-Sauri dan Ishaq ibnu
Rahawaih dalam suatu riwayatnya.
Hal yang semisal telah
diriwayatkan dari Ali ibnu Abu Talib. Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalur
Sa’id ibnu Abu Urabah dari Qatadah, dari Sa’id ibnu Musayyab, bahwa Ali ibnu
Abu Talib memaruhkan bagi orang muhrim (yang sedang ihram) memakan daging hasil
buruan dalam keadaan bagaimanapun.
Imam malik, Syafii, Ahmad ibu Hambal, Iahaq ibnu
Rahawaih dalam suatu riwyat serta jumhur ulama berpedapat: Jika orang yang
telah bertahallul bermaksud melakukan peburuan untuk orang yang berihram, maka
orang yang berihram itu tidak boleh memakannya, karena berdasarkan hadis
As-Sa’b Jusamah; ia pernah menghadiahkan seekor kuda zebra hasil buruannya di
Abwa atau Wuddan kepada Nabi saw. Melihat perubahan roman muka As-Sa’b ibnu
Jusamah, beliau saw bersabda:
Sesungguhnya kami tidak
sekali- klai mengembalikannya kepadamu melainkan karena kami sedang ihram
Hadis ini diketengahkan
di dalam kitab Sahihain dan mempunyai lafaz yang banyak. Jumhur ulama
mengatakan, yang tersimpulkan dari hadis ini ialah “ Nabi saw, maka Nabi saw.
Menolaknya”. Adapun jika perburuan dilakukan bukan untuk orang muhrim yang
bersangkutan, maka ia di perbolehkan memakannya. Karena berdasarjan hadis Abu
Qatadah ketika ia berburu kuda zebra, ia dalam keadaan tidak berihram,
sedangkan teman- temannya dalam keadaan ihram. Lalu mereka tidak berani
memakannya dan menanyakannya lebih dahulu kepada Rasulullah saw. Maka
Rasulullah saw. Bersabda:
“ apakah ada seseorang
dari kalian yang mengisyaratkan kepada binatang buruan ini atau ikut membantu
membunuhnya?: Mereka menjawab,” Tida” Nabi saw. Bersabda ,” Kalau demuikian
makanlah oleh kalian. “ dan asulullah saw. Sendiri ikut makan sebagian darinya.
Kisah ini disebutkan
pula dalam kitab Sahihain dengan lafaz yang banyak.
Imam Ahmad mengatakan,
telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Mansur dan Qutaibah ibnu Sa’id
keduanya mengatakan bahwa telah menceritaan kepada kami Ya’qub ibnu Abdur
Rahman, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Muttalib ibnu Abdullah ibnu Hantab, dari
Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. Telah bersabda; dan
menurut Qutaibah dalam hadisnya, perawi pernah mendengar Rasulullah saw.
Bersabda:
Binatang
buruan darat dihalalkan bagi kalian menurut hadis Sa’id disebutkan bahwa sedangkan
kalian dalam keadaan ihram selagi bukan alian sendiri yang memburunya atau
bukan di buru untuk alian.
Hal yang sama telah
diriwayatkan oleh Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Immam Nasai; semunnya dari
Qutaibah. Imam Turmuzi mengatakan, ia belum pernah mengenal bahwa Muttalib
ernah mendengar dari Jabir.
Imam Muhammad ibnu
Idris Asy-Syafii telah meriwayatkannya melalui jalur Amr ibnu Abu Amr, dari
maulannya ( yaitu Al-Muttalib), dan Jabir. Kemudian Imam Syafii mengatakan
bahwa ia merupakan hadis yang paling baik dan paling tepat yang diriwayatkan
dalam bab ini.
Imam Malik telah
meriwayatkan dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi’ah yang menceritakan bahwa ia
pernah melihat Usman ibnu Affan di Al’-Arj dalam keadaan ihram di hari yang
panas ( musim panas), sedangkan ia menutupi ( menaungi) wajahnya dengan kain
urujuwan. Kemudian disuguhkan kepadanya daging hewan hasil buruan, lalu ia
berkata kepada teman- temannya,” Makanlah oleh kalian.” Mereka berkata,”
Mengapa engkau sendiri tidak ikut makan??” Khalifah Usman menjawab,”
Sesungguhnya keadaanku tidaklah seperti kalian, sesugguhnya hewan buruan ini
sengaja diburu hanya untukku.
2. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an Juz
VII : hal 335
“
Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan. Allah mengetahui apa yang kamu
lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.”
Ukuran
Kebaikan dan Keburukan
Segmen
ini di akhiri dengan mengemukakan sebuah timbangan yang di tegakkan Allah untuk
mengukur nilai- nilai, dan untuk dipergunakan oleh orang muslim buat menimbang
dan menetapkan perkara. Yaitu, timbangan yang menguatkan bobot kebaikan dan meringankan bobot keburukan
supaya, orang muslim tidak tertipu oleh banyak keburukan kapan pun waktu dan
dalam kondisi bagaimanapun.
3.
Tafsir
Al- Maraghi jilid
7: hal 60-61
Tugas
Rasul Hanya Menyamaikan, Sedangkan Perhitungan Terhadapa Amal Ada Di Tangan
Allah
Setelah
menjelaskan bahwa pembalasan itu ada pada kekuasaan Allah Yang Maha Mengetahui
segala sesuatu, selanjutnya Allah menerangkan tugas Rasul
Kami
telah mengutus Rasul kepada kalian untuk mempertakuti kalian dengan siksaan yag
pedih pada sisi-Ku dan menyampaikan penjelasan yang mematahkan berbagai hujjah kalian. Tugas Rasul itu hanya
menyampaikan risalah, sedangkan pemberian balasan adalah urusan Kami. Kami akan
memberi pahala kepada orang yang taat, dan siksaan kepada orang yang durhaka.
Kami mengetahui orang yang menaati segala perintah Kami dan orang yang durhaka
serta meninggalkan perintah itu. Sebab, tidak ada sesuatu pun yang tidak Kami
ketahui, baik yang di simpan di dalam dada maupun perbuatan yang jelas dan
terang. Karena itu, betapa patut kalian takut kepada-Ku, dan janganlah kalian
mendurhakai perintah-Ku
Di
sini, terdapat ancaman yang keras bagi orang yang menentang dan mendurhakai perintah-
perintah Allah. Juga terdapat pembatalan terhadap perbuatan orang- orang
musyrik dan sesat, yaitu takut terhadap sembahan- sembahannya yang batil serta
mencari keselamatan dari azab dengan safa’atnya.
Ringkasannya,
kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan agama dan syari’at, sesudah itu yang
bertanggung jawab di sisi Allah adalah orang- orang yang menerima penyampaina
itu, Allah yang mengetahui berbagai keyakinan, perkataan dan perbuatan, baik
yang mereka tampakkan maupun yang mereka sembunyikan, adalah Allah yang memberi
mereka balasan sesuai dengan pengetahuan- Nya yang meliputi setiap zat atom di
bumi dan langit. Dengan demikian, balasan-Nya adalah haq dan adil. Sesudah
itu, dia akan menambahkan kebaikan dan karunia-Nya. Sebab itu, carilah
kebahagiaan pada diri kalian sendiri, dan takutlah akan kehilangan kebahaiaan
itu.
Mengenai
pemberian syafa’at di akhirat, itu disebabkan doa Nabi saw. yang dikabulkan
oleh Allah SWT. Hal itu telah ada pada ilmu Allah yang di kehendaki oleh
kebijaksanaan-Nya, sesuai dengan apa yang telah di ungkapkan di dalam
kitab-Nya, tanpa mempengaruhi ilmu dan kehendak-nya. Yang baru tidak
berpengaruh terhadap yang qadim( yang
lama).
4.
Tafsir
Al- Azhar jus
VII : hal 84-85
“Tidak
ada kewajiban bagi Rasul, melainkan menyampaikan”.
Ayat ini adalah
penjelasan bahwasannya hak yang mutlak menentukan azab atau ampunan hanya
semata- mata kepada Allah. Rasul sendiri tidak ada kekuasaan sedikitpun
menentukan itu. Kewajiban Rasul hanya satu, yaitu menyampaikan petunjuk Allah kepada
mahluk, yang ini di sukai Allah, dan yang itu dibenci-Nya. yang ini di suruh
Allah, dan yang di larang-Nya . Sedikitpun dia tidak boleh menyembunyikan itu,
sebagaimana yang telah disebut juga pada ayat- ayat yang lalu. Sebab itu batal
dan tertolak lah persangkaan orang- orang musyrik dan tersesat, yang
Mengharapkan Moga- Moga Rasul pun atau manusia pun dapat menolong mereka
meringankan azab atau menambah pahala mereka.
“Dan
Allah adalah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.”
Dengan lanjutan keterangan
ini jelaslah lagi inti Tauhid. Tiap- tiap kita langsung bertanggung jawab
kepada Allah , langsung dengan tidak ada perantara. Beramal dan beribadah
karena Allah saja. Mana yang tidak
jelas, kita carikan keterangan dari Rasul. Jalan itu sudah terentang dan
kita akan menempuh jalan itu Rasul menunjukkan kepada kita, di suruh
menyampaikan kepada kita, bagaimana menempuh jalan itu yang di kehendaki oleh
Allah. Rasul sekali- kali tidak membuat jalan sendiri. Maka segala tingkah-
laku kita, apa yang kita perlihatkan dengan nyata dan apa yang kita
sembunyikan, semuanya di ketahui oleh Allah.
Sampai kelak pun,
seketika diadakan hisab (perhitungan)
dan mizan (pertimbangan) di hadapan
hadirat Ilahi di Akhirat, tiap- tiap kita bertanggung jawab langsung dihadapan
Allah. Kalaupun Rasul- Rasul didatangkan dalam Majlis Pengadilan Tertinggi itu,
beliau tiadapun juga dapat lahir dan bathin kita. Beliau hanya semata- mata
dipanggil untuk menjadi saksi, apakah telah di sampaikannya apa yang dahulu
mesti disampaikan kepada kita? Itulah sebabnya, seketika Abdullah bin Mas’ud
disuruh Rasul saw membaca Al-Qur’an, sebaik sampai bacaanya kepada ayat 40 dari
surat An- Nisa’, beliau menagis, sebab kasih mesranya kepada umatnya, seperti
yang telah kita lihat tafsirnya terlebih dahulu. Beliau menangis, karena yang
akan dapat menolong umat itu dari ancaman Allah hanyalah amal mereka sendiri.
5.
Tafsir
Al- Misbah volume
3: hal 195-196
“
Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah penyampaian, dan Allah mengetahui apa yang
kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.”
Setelah
penyampaian informasi tentang ancaman dan janji, ayat ini menegaskan bahwa: Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah
penyampaian, kewajiban larangan serta tuntunan Allah. Rasul- siapapun dia –
tidak mengetahui isi hati manusia, dan karena itu dia tidak dapat menjatuhkan
sanksi atau memberi ganjaran. Allah
mengetahui apa yang dari saat ke saat kamu lahirkan dan apa yang dari saat ke
saat kamu sembunyikan, baik yang berkaitan dengan larangan minum khamr,
atau membunuh binatang buruan, demikian juga menyangkut iman dan kekufuran hati
kamu, dan karena itu hanya Dia yang memberi ganjaran dan balasan. Adapun Rasul
maka dia hanya dapat memberi putusan berdasar hal- hal lahiriah.
Kata
(balag) termbil dari kata( balaga) yang beraati sampai. Dalam konteks ini adalah
sampainya segala apa yang di perintahkan Allah kepada manusia.
Penyampain
itu di lakukan Rasul saw. dengan lisan berupa perintah, larangan, teguran, atau
nasehat dan juga dengan keteladanan di rumah, di jalan, di pasar dan di tempat-
tempat umum yang di dengar dan dilihat langsung oleh para sahabat, bahkan oleh
masyarakat ketika itu. Ini tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali, tetapi
berulang- ulang dan tanpa jemu. Tuntunan Allah dalam kehidupan rumah tanggapun-
yang sifatnya sangat rahasia – diketahui melalui isteri- isteri beliau. Inilah
yang merupakan salah satu sebab mengapa beliau beristeri sekian kali( 13 orang
isteri, Sembilan di antaranya dihimpun dalam satu waktu) karena seorang atau
dua saja tidak akan mampu menampung segala tuntunan itu. Apa yang disampaikan
Rasul itu, disampaikan lagi oleh generasi lalu ke generasi berikut, hingga
dewasa ini.
Namun
sekali lagi harus diingat bahwa tugas Rasul hanya menyampaikan. Beliau telah
berusaha sekuat tenaga bahkan melebihi yang diharapkan dari beliau, sedng untuk
menerima atau menolak diserahkan kepada masing- masing.” Siapa yang akan
beriman maka disilahkan beriman dan siapa yang kafir maka dia sendiri yang
menanggung dosanya.”
B.
QS.
Ali- Imran [ 3 ] : 20
Artinya
: “
Kemudian jika mereka mendebat kamu ( tentang kebenaran islam), maka katakanlah,
‘aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang- orang yang
mengikutiku.’ Katakanlah kepada orang- orang yang telah diberi Alkitab dan
kepada orang- orang yang ummi, ‘ apakah kamu (mau) masuk islam?’ jika mereka
masuk islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk . dan, jika mereka
berpaling maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan ( ayat- ayat Allah). Allah
Maha Melihat akan hamba- hamba-Nya.”
1. Tafsir Ibnu Kasir jilid
2: hal 36-39
Allah
SWT berseru dalam ayat kedua puluh ini kepada Rasul-Nya Muhammad, jika mereka
ahli kitab mendebatnya tentang tauhid keesan Allah, hendaklah ia menjawab dan
berkata kepada mereka: “ Aku telah menyerhkan diriku dan mengikhlskan ibadahku
hanya kepada-Nya sendiri. Tuhan yang Maha Esa, tidak bersekutu, tiada berlawan
dan tidak beristeri, demikin pula orang- orang yang mngikuti agamaku berkata
seperti kataku ini.” di lain ayat Allah berfirman pula:
Artinya:
“ Katakanlah (hai Muhammad) inilah jalan (agama)ku aku dan orang- orang yang
mengikutiku mengajak kamu kepada Allahdengan hujjh yang nyata.
Kemudian
dalam ayat ini pula Allah memerintahkan kepada hamba dan pesuruh-Nya Muhammad
agar mengaja para ahli kitab dan pada orang- orang musyrik mengikuti jalannya,
memasuki agamanya dan menjalankan syari’atnya serta segala apa yang diutuskan
oleh Allah kepadanya. Jika mereka masuk islam, maka mereka telah memperoleh
hidayah, tetapi jika mereka berpaling dari ajakannya, maka kewajibannya
hanyalah menyampaikan risalah Allah kepada mereka, sedang Allahlah yang akan
mengadili mereka, karena kepada-Nya mereka akan kembali dan Dialah memberi
hidayah kepada yang Dia kehendaki dan menyesatkan yang Dia kehendaki pula.
Sesuai dengan hikmah dan hujjah-Nya yang kuat. Dan Allahlah yang Maha
Mengetahui tentang hamba- hamba-Nya, siapa yang patut mendapat hidayah dan
siapa pula yang patut disesatkan. Dia tak dapat di tanya tentang apa yang
diperbuatnya, tetapi hamba- hamba-Nyalah yang harus mempertanggungkan kepadaNya
segala tinda- tanduk dan perbuatan mereka.
Ayat
ini diantara beberapa ayat serupa memberi petunjuk dan dalil yang nyata bahwa
risalah Muhammad saw. Adalah untuk seluruh jagad dan semua umat manusia. Sebagaimana
dapat diketahui dari ajaran- ajaran agamanya dan di tegasan dalam banyak ayat
dan hadis. Di antaranya adalah firman Allah:
Artinya:
“ Katakanlah (hai Muhammad) bahwasanya aku adalah pesuruh Allah kepada kamu
sekalian.”
Artinya:
“ Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya,
agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam ( jin dan manusia).”
Menurut
catatan sejarah yang turun- temurun di beritakan dan diriwayatkan oleh ahli-
ahli hadits seperti Bukhari, Muslim dan lain- lainya, bahwa Rasulullah saw
telah mengirim surat kepada raja- raja di beberapa bagian dumia dan kepada
pemuka- pemuka umat manusia dari bangsa Arab dan bangsa- bangsa lain, kepad
mereka yang ahli kitab maupun yang ummi yang musyrikin, mengajak mereka agar
masuk islam dan kembali kejalan Allah. Hal mana telah dilakukan oleh beliau semata-
mata sebagai realissi dari perintah Allah kepadanya selaku pesuruh kepada
seluruh umat manusia.
Berkata
Abu Hurairah menurut riwayat Abdurrazzaq bahwa Rasulullah saw be rsabda:
“Demi
Allah yang nyawau berada di tangan-Nya, tiada seorang Yahudi atau seorang
Nasrani dari umat ini, yang telah mendengar risalahku dan mati sebelum beriman
kepada risalahku ini maka ia adalah tergolong ahli neraka.”
Bersabda
Rasulullah:
Atinya:
“Aku telah di utus oleh Allah kepada bangsa- bangsa yang berkulit merah dan
yang berkulit hitam. Nabi- nabi sebelumku masing- masing di utus kepada
kaumnya, sedang aku diutus untuk semua manusia.”
Berkata
Imam Ahmad bahwa Anas r.a bercerita tentang seorang remaja Yahudi yang selain
mengikuti Rasulullah menyiapan air wudhunya dan menjaga kedua sansalnya. Ia
jatuh sakit pada suatu watu dan di jenguk oleh Rasulullah di rumahnya di mana
ayahnya sedang duduk di sebelah kepalanya menjaga. Berseru Rasulullah kepada
sang remaja itu.” Hai fulan katakanlah “ Lailaha Illallah.” Si remaja Yahudi
itu tetap, bungkam seraya melihat wajah ayahnya. Lalu di ulanginya seruan itu
oleh Rasulullah, namun ia tetap bungkam sambil melihat wajah ayahnya. Kemudian
setelah sang ayah memerintahkan anaknya agar mengikuti serua Allah barulah ia
melafazkan “ Asyhadu An Lailaha ilallah,
waannaka Rasulullah.” Lalu keluarlah Rasulullah dari rumah sang Yahudi seraya
bersada:
Artinya:
“ Alhamdulillah yang telah mengeluarkan dia dari neraka karena aku.”(riwayat
Bukhari).
2. Tafsir Fi Zhalalil Qur’an Juz
III : 50
“
Kemudian jika mereka mendebat kamu ( tentang kebenaran islam), maka katakanlah,
‘Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang- orang yang mengikutiku.’
Katakanlah kepada orang- orang yang telah diberi Alkitab dan kepada orang-
orang yang ummi, ‘ Apakah kamu (mau) masuk islam?’ jika mereka masuk islam,
sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk . dan, jika mereka berpaling maka
kewajiban kamu hanyalah menyampaikan ( ayat- ayat Allah). Allah Maha Melihat
akan hamba- hamba-Nya.”’
Tidak
ada jalan untuk menambah penjelasan lagi sesudah itu, yaitu mengakui wahdatul-uluhiyyah wal-qawaamah. Dengan
demikian, pasti islam dan ittiba’,
atau tidak ada tauhid dan islam bagi orang yang mengelak dan mendebat seperti
itu.
Di
antara yang diwahyukan Allah kepada Rasulullah saw. Itu adalah sebuah kalimat,” Kemudian jika mereka mendebat kamu(
tentang kebenaran islam), maka katakanlah, ‘ Aku menyerahkan diriku kepada
Allah dan ( demikian pula) orang- orang yang mengikutiku.’”
Perkataan
“ittiba’” mengikuti disini memiliki
tujuan dan bukan semata- mata pembenaran hati. Yaitu ‘ittiba’ mengikuti Rasulullah saw. , sebagaimana pengungkapan
islamnya wajah (aslamtu wajhi) juga memiliki tujuan tertentu, yakni bukan
semata- mata ucapan dengan lisan atau keyakinan dengan hati. Jadi, demikianlah
islam, yaitu menyerah, patuh, taat, dan ittiba’.
Dan, islamnya wajah merupakan kinayah
‘kata kiasan’ dari ketundukan dan ketaatan ini. Karena, wajah merupakan bagian
tubuh manusia yang paling tinggi dan mulia. Maka, islamnya wajah merupakan
gambaran kepatuhan, ketaatan, ketundukan, ittiba’,
menyambut dan mematuhi.
Demikianlah
iktikad Nabi Muhammad saw. Dan manhaj
hidupnya. Kaum muslimin mengikuti beliau dalam iktikad dan manhaj hidupnya.
Karena itu, tanyakanlah kepada ahli kitab dan orang- orang yang ummi ( tidak
tau baca tulis) untuk mencari kejelasan dan perbedaan serta untuk member tanda
yang membedakn bagi para lascar secara jelas sehingga tidak ada percampuran dan
kesamaran,
“
Katakanlah kepada orang- orang yang telah diberi Alkitab dan kepada orang-
orang ummi, apakah kamu (mau) masuk islam?”
Mereka
itu sama saja, baik kaum musyrikin maupun Ahli kitab. Mereka diseur dan diajak
masuk islam dengan pengertian seperti yang kami terangkan tadi. Mereka diseru
untuk mengakui keesaan Zat Allah, keesaan uluhiyyah,
dan keesaan qawaamah ‘ kepengurusan
alam semesta’. Kemudian sesudah pengakuan ini, mereka diseru untuk tunduk dan
patuh kepada segala segala sesuatu yang menjadi tuntutan tauhid itu. Yaitu,
menjadikan kitab Allah sebagai hakim untuk memutuskan persoalan mereka dan
menjadikannya manhaj ‘pedoman’ hidupnya,
“
Jika mereka masuk islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk.”
Petunjuk
itu hanya terlukis dalam sebuah bentuk saja yaitu, bentuk islam, dengan hakikat
dan tabi’atnya itu. Tidak ada bentuk, gambaran, pandangan, aturan, manhaj, dan jalan hidup lain yang
melukiskan petunjuk itu. Karena, yang selain itu adalah kesesatan,
kejahiliaahan, kebingungan, penyimpangan, dan penyelewengan.
“
Dan, jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan
ayat-
ayat Allah).”
Maka,
dengan menyampaikan ini selesailah tugas Rasul. Akan tetapi, hal ini adalah
sebelum Allah memerintahkan memerangi orang- orang yang tidak mau menerim islam
sehingga selesai. Yaitu, dengan memeluk islam dan mematuhi peraturan-
peraturannya atau mengikat perjanjian untuk mematuhi peraturan dalam bntuk
membayar jizyah, karena tidak
diperbolehkan memaksakan iktikad (keyakinan, keoercayaan).
“
Allah Maha Melihat akan hamba- hamba-Nya.”
Yang
mengurusi dan mengatur segala urusan mereka sesuai dengan pengawasan dan
pengetahuanNya, dan seluruh urusan mereka kembali kepada-Nya dalam segala hal.
Akan
tetapi, Allah tidak akan membiarkan mereka sebelum menjelaskan kepada mereka
tempat kembali yang senantiasa menanti- nantikan mereka dan orang- orang yang
seperti mereka sesuai dengan sunnah Allah
yang senantiasa berlaku terhadap orang- orang yang mendustakan dan
menyeleweng.
3. Tafsir Al- Maraghi jilid
3 : 211-212
Jika
mereka ( kuffar/ ahlulkitab) menentangmu, maka Nabi pun mengajak orang- orang Yahudi
di Madinah agar meninggalkan apa- apa yang dibuat- buat oleh mereka sendiri
dalam agama, serta kebiasaan merubah dan mewakilkan secra absurditas. Nabi
Muhammad saw.mengajak mereka mengacu pada hakikat agama, dan berserah diri
sepenuhnya kepada Allah dan ikhlas terhadap-Nya, setelah menjelaskan dan
membuktikan kepada mereka. Maka katakanlah kepada mereka, “ aku hadapkan
ibadahku hanya kepada Tuhanku dalam keadaan mengikhlaskan diri dan berpaling
dari selain-Nya. Sesungguhnya aku dan orang- orang yang mengikutiku adalah
termasuk orang- orang yang beriman.”
Kesimpulan:
sesungguhnya berhujjah dihadapan
orang- orang seperti mereka tidaklah ada gunanya, sebab, berhujjah hanya diperlukan bagi hal- hal yang masih samar.
Sedangkan dalam hal ini dalil- dalilnya
tegas dan jelas. Sehingga batallah semua kesamaran bagi orang- orang yang
sesat. Jika memang demikian berarti mereka takabur dan inkar yang tidak patut
di layani kecuali hanya berpaling dari mereka, dan tidak menyia- nyiakan waktu
untuk hal- hal yang tidak bermanfaat
Dan
katakanlah kepada orang- orang Yahudi, Nasrani dan musyrikin Arab. Mereka di
sebut secara khusus, padahal bi’tsah beliau bersifat umum. Tidak lain karena
mereka adalah orang- orang pertama yang harus tersentuh dakwah,” apakah kamu mau masuk islam sebagaimana
aku islam sesudah aku jelaskan hujjah
terhadap kamu dan telah datang kepadamu bukti- bukti yang mewajibkan dan
menunjukkannya kearahnya. atau kamu masih tetap berpegang teguh pada
kekufuranmu, dan enggan meninggalkan keingkaranmu itu?”
Perumpamaan
seperti itu sama halnya dengan ringkasan suatu masalah terhadap seseorang yang
bertanya. Penjelasan dengan sejelas- jelasnya dan sedetail- detailnya. Kemudian
ia mengatakan kepadanya,” apakah kamu bias memahaminya?”
Hal
itu mengandung ibarat ( contoh) bagi mereka yang menuduhnya sebagai orang-
orang dungu dan berakal beku, di samping sebagai hinaan atas mereka yang nyata-
nyata inkar dan tidak sadar.
Bila mereka sudi
berserah diri terhadap agama islam yang merupakan ruh agama , berarti mereka
telah mendapatkan keuntungan sangat banyak, dan selamat dari jurang kesesatan.
Jika mereka masuk islam, mereka di tuntut mengikuti apa yang telah di datangkan
padamu. Sebab, hanya dengan cara inilah hatinya menjadi terang dan menjurus
pada kebenaran. Dan dia termasuk orang yang paling cepat menerima kebenaran,
jika kebenaran itu segera tampak baginya.
Tetapi
jika mereka berpaling dari kebenaran yang kau sampaikan padanya, hal itu
tidaklah membahayakan sedikitpun bagi dirimu. Sebab tugasmu hanyalah
menyampaikan dan engkau benar- benar telah menyampaikan dengan cara lebih
sempurna dan lengkap.
Allah
Maha Mengetahui orang- orang yang hatinya tertuup, dan mata hatinya diberi
penghalang, sehingga tidak bias diharapkan lagi darinya memperoleh hidayah.
Allah Maha Mengetahui orang- orang yang masih bias di harapkan mendapatkan
hidayah dan taufik, sesudah datangnya risalah dakwah ini.
4. Tafsir Al-Azhar juz
III : hal 186-187
“
Maka jika mereka membantah engkau, katakanlah: Aku telah menyerah diri kepada
Allah, demikian juga orang- orang yang mengikutiku.”
Artinya,
kalau sekiranya orang- orang ahlul kitab itu, baik mereka Yahudi yang tinggal
di Madinah, maupun tetamu yang datang dari Najran itu, kalau mereka masih saja
berbantah dengan engkau, katakanlah dengan terus terang bahwasanya engkau dan
orang- orang yang menjadi pengikutmu telah mempunyai suatu pendirian yang
bulat, yaitu menyerah diri kepada Allah , tegasnya islam. Pendirian kami telah
jelas. Orang- orang yang mempergunakan akalnya pasti sampai kepad penyerahan
diri kepada Allah. Tidak berkencong- kencong kepada yang lain dan tidak
mempersekutukan.
Sekarang
Rasulullah pula disuruh menanyakan kepada mereka:” Dan tanyakanlah kepada orang- orang yang telah diberi kitab itu.”
baik mereka Yahudi yang telah menerima dan mengerti kitab Taurot, ataupun dia
orang Nasrani yang mengakui telah menerima kitab Injil. Teranglah sudah bahwa
inti sejati dari kitab- kitab itu ialah mengajak manusia agar berserah diri kepada Allah, “ Dan kepada orang- orang yang ummi”
yaitu orang- orang Arab sendiri yang tidak memeluk Yahudi atau Nasrani, tidak
menerima Taurat atau Injil, tetapi mengakui bhawa mereka menerima ajaran Nabi
Ibrahim, sedangkan Nabi Ibrahim pun mengakui penganut agama “ menyerah diri”
tanyakanlah kepada mereka semuanya: sudahkah kamu menyerah diri? Sudahkah
mereka islam? Sudahkah mereka kembali kepada ajaran agama dan kitab mereka yang
asli, tidak dihambat- hambat oleh penafsiran
yang berbeda- bed, keputusan pendeta atau pihak kekuasaan?” maka jika mereka telah menyerah diri, maka
sesungguhnya telah mendapat petunjuk mereka.” Dan jika mereka berpaling, maka
tidk lain kewajiban engkau, hanylah menympaikan.” Jangan berhenti- henti
menyampaikan seruan itu, agar mereka kembali kepada pokok asli agama, menyerah
diri pada Tuhan.dn tegas kewajiban Rasul ini pula yang terpikul ke atas pundak
kita pengikutnya yang datang di belakang, yaitu tidak berhenti- henti
menyampaikan, menyerukan, dakwah dan tabligh.
“
Dan Allah adalah amat memandang kepada hambaNya.”
Selain
ditilik dan dipandangi Tuhan bagaimana caranya hambaNya menegakkan keyakinannya
dan menyampaikan seruannya. Kalau mereka idak melanjutkan tugas Rasul, yaitu
bertabligh, kian lama kian gelaplah penerangan agama. Janagnkan orang lain yang
akan dapat diinsyfkan, bahkan yang tela
ada didalampun bias tercampak keluar. Apakah lagi kalau agama itu hanya tinggal
nama. Bernama Islam atau Muslim tetapi mereka tidak menyerah diri pada Tuhan.
Dan akibat dari penyerahan diri itu tidak lain kpatuhan dan taat mengerjakan yang
di perintahkan dan menghentikan yang di larang. Dan penyerahan itu menjadi
bilat kepada yang satu, itulah tauhid. Dan itulah dia Islam yang sejati, dan
siapa yang tidak insyaf merekapun menyerah diri kepada thaghut dan syaitan.
5. Tafsir Al- Misbah volume
2 : hal 42-45
“Maka jika mereka mendebatmu, maka katakanlah, ‘aku
menyerahkan wajahku kepada Allah dan (demikian pula) orang- orang yang
mengikutiku.’ Dan Katakanlah kepada orang- orang yang telah diberi Alkitab dan
kepada orang- orang yang ummi, ‘ apakah kamu telah menyerahkan diri kamu?’ jika
mereka telah menyerahkan diri, maka sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk
. dan, jika mereka berpaling maka kewajibamu hanyalah penyampaian ( ayat- ayat
Allah). Allah Maha Melihat hamba- hamba-Nya.”
Jelas
sudah ajaran Ilahi, keterangan telah terhidang, demikian pula bukti- bukti ,
dan ketahui juga alas an penolakan yang tidak logis dan tidak pula ilmiah itu.
Jika demikian, mengapa harus melanjutkan diskusi? Biarkan saja mereka, whai
Muhammad , maka karena jika mereka
mendebatmu tentang keesaan Allah dan ajaran yang engkau bawa, maka katakanlah,” aku menyerahkan wajahku
kepada Allah dan demikian pula orang-
orang yang mengikutiku.”
Menyerahkan
wajahku kepada Allah, yakni menyerahkan
seluruh totalitas jiwa dan ragaku kepada-Nya. Wajah adalah bagian yang paling
menonjol dari sisi luar manusia. Ia paling jelas menggambarkan identitas manusia. Jika satu
sosok tertutup wajahnya, maka tidak mudah mengenal, siapa dia. Sebaliknya, jika
seluruh sisi luarnya tertutup, kecuali wajahnya, maka dia dapat dibedakan dari sosok yang lain , bahkan tanpa kesulitan
dia dapat dikenal. Demikian wajah menjadi pertanda identitas. Wajah juga dapat
menggambarkan sisi dalam manusia. Yang senang atau gembira, wajahnya terlihat
ceria dan selalu tersenyum, sedang yang gundah atau kesal, wajahnya tampak
muram dan mukanya masam.” Apabila
disampaikan kepada mereka tentang kelahiran anak perempuan, wajahnya muram (
hitam) dan dia dalam keadaan sedh.” Demikian, lebih kurang maksud firman
Allah dalam QS. An- Nahl [16]:58. Di sisi lain, al-Qur’an menginformasikan
bahwa: “ di jari kemudian ada wajah yang
putih berseri dan juga yang hitam muram. Adapun yang berseri wajahnya, maka (
mereka itulah ) yang menikmati rahmat Allah ( surgaNya) dan mereka kekal di
dalamnya.”(QS.Al Imran [3]: 106-107).
Di
wajah dan sekitarnya terdapat indera- indera manusia seperti mata, telinga, dan
lidahnya, bahkan kepalanya pun yang di dalamnya terdapat otaknya tidak jaug
dari wajahnya. Bias jadi karena itulah maka wajah di pilih oleh al-Qur’an dan
Sunnah sebagai lambing totalitas manusia. Yang ikhlas melakukan aktivitas
karena Allah, di namainya” menghendaki wajah Allah”, dan yang datang menghadap
kepada-Nya , diharapkan datang dengan menghadapkan wajahnya.” Aku hadapka wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi,
dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-
orang yang mempersekutukan Tuhan.” Demikian ucapan Nabi Ibrahim as. Ketika
pencariannya tentang Tuhan berakhir dan yang di abadikan dalam surah al-An’am
[6]: 79. “ aku menyerahkan wajahku kepada
Allah dan ( demikian pula) orang- orang yang mengikutiku.”
Perhatikanlah
ucapan yang di ajarkan ini. Nabi saw. Diperintahkan untuk menyebut dirinya
terlebih dahulu dan dalam bentuk tunggal, baru kemudian menyebut pengiku-
pengikutnya. Pemisahan itu bukan saja untuk mengisyaratkan, bahwa penyerahan
wajah Rasul serta ke ikhlasan beliau lebih sempurna dari pengikut- pengikut
beliau, tetapi juga, dan yang lebih penting adalah, bahwa tanggung jawab utama
terletak di pundak beliau. Jangan meletakkan tanggung jawab kepada yang
dipimpin, bahkan jangan membebani mereka dengan melupakan dirimu sebagai
pemimpin. Kesan yang kita peroleh. Dalam ayat lain secara tegas dinyatakan: “ maka berjuanglah engkau (wahai Muhammad)
di jalan Allah, tidaklah engkau di bebani melainkan dengan kewajiban atas
dirimu sendiri. Dan kobarkanlah semangat para mukmin ( untuk berjuang)” (QS.an-
Nisa’ [4]:48). Demikianlah, tanggung jawab menuntut agar pemimpin terlebih
dahulu tampil ke depan, baru kemudian mengajak yang dipimpin.
Kemudian
bagaimana dengan yang dipimpin? Ayat yang di tafsirkan ini, memerintahkan Nabi
Muhammad saw. Dan demikian juga orang- orang yang mengikutiku. Demikian redaksi
yang di gunakan. Beliau tidak di perintahkan untuk menyatakan “ Bukan orang- orang yang percaya kepadaku,”
karena apalah arti percaya kalau tidak membuahkan hasil berupa keteladanan
terhadap Rasul saw? Iman tanpa buah masih belum cukup.
Selanjutnya,
walau diskusi telah berakhir, itu bukan berarti pintu hubungan telah tertutup
rapat. Tidak! Pintu tetap terbuka lebar, dakwah tanpa paksaan masih harus
digiatkan. Karena itu, lanjutan ayat diatas memerintahkan, di kali lain,-
bahkan pada saat diskusi itu berakhir- sebagaimana di pahami dari pengulangan
kata,” dan katakanlah.” Ajakan ini bukan hanya kepada orang- orang yang telah
diberi al-Kitab, tetapi juga kepada orang- orang yang ummi, yakni mereka yang tidak
mendapat kitab suci, khususnya orang- orang musyrik Mekah. Katakana kepada
mereka,” Apakah kamu telah menyerahkan
dirimu”, sebagaimana keadaan kami yang menyerahkan diri kepada-Nya?
Pertanyaan
di atas mengisyaratkan, bahwa sebenarnya segala cara, bukti, dan dalil, telah
ditempuh dan disampaikan sebelum ini. Diskusi yang di akhiri pada masa yang
lalu telah berlangsung sekian lama. Masa antar diskusi itu dan ajakan kali ini
merupakan kesempatan untuk berfikir dan merenungkan ajaran yang telah
disampaikan dengan aneka bukti itu. Ini semua melahirkan optimiame sehingga
pertanyaan yang di ajukan adalah, “ Apakah
kamu telah menyerahkan dirimu kepada-nya?” nah, jika mereka telah menyerahkan
diri, serupa dengan keadaan pengikut- pengikutmu, wahai Muhammad, maka
sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka brpaling, dari
ajakan ini dan enggan menyerahkan wajah kepada-Nya , maka biarkan mereka dengan
pilihan mereka, jangan paksa mereka karea kewajibanmu hanylah penyampaian,
ajakan dan ajaran; Allah yang akan menentukan bagaimana mereka selanjutnya
karena Allah Maha Melihat hamba- hamba-Nya, yang taat kepada-Nya, demikian juga
yang ingin mendekatkan diri dan taubat kepa-Nya. Penjelasan akhir ini dipahami
dari penggunaan kata al- ibad yang biasanya digunakan al-Qur’an untuk hamba-
hamba Allah yang taat, atau mau bertaubat. Sedang hamba- hamba-Nya yang durhaka
dan bergeliman dalam dosa ditunjuk dengan menggunakan kata abid. Ditutupnya
ayat di atas, sekali lagi menunjukkan bahwa pintu masih tetap terbuka lebar
bagi siapapun untuk memperbaiki diri.
Daftar
Pustaka
Ahmad
Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al Maraghi, juz VII, (Semarang: PT. Karya Toha
Putra, 1992).
Ahmad
Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al Maraghi, juz III, (Semarang:PT. Karya Toha
Putra, 1993).
Hamka,
Tafsir Al Azhar, juz VII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2007).
Hamka,
Tafsir Al Azhar, juz III, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003).
M.
Quraish Shihab, Tafsir AL Mishbah, Volume III, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati,
2001).
M.
Quraish Shihab, Tafsir AL Mishbah, Volume II, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati,
2007).
Sayyid
Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, jus VII, (Jakarta: Gema Insani , 2004).
Sayyid
Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, jus III, (Jakarta: Gema Insani, 2004).
H.
Salim Bahreisy, Tafsir Ibnu Kasir, Jus VII,(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003)
Al-Imam
Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad- Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, juz VII,
(Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung, 2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar