Nafs
Jiwa dalam Al- Qur’an
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:
Psikologi
Disusun Oleh:
Erma Ayu Septiani (B03211008)
FAKULTAS
DAKWAH
JURUSAN
BIMBINGAN KONSELING ISLAM/C1
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2012
Nafs
jiwa dalam Al-Qur’an
Kata
nafs dalam Al-Qur’an mempunyai beberapa makna, sekali di artikan sebagai
totalitas manusia, yang terdapat dalam
diri manusia yang menghasilkan tingkah laku.[1]
Nafsu adalah suatu keinginan yang harus dipenuhi. Nafsu sering berkonotasi
negatif seperti bernafsu besar
dan lain sebagainya.
Dalam
pandangan Al-Qur’an, nafs diciptakan Allah swt. Dalam keadaan sempurna untuk
berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan.
Al-Qur’an menganjurkan untuk memberi perhatian lebih besar, sebagaimana
diisyaratkan dalam firman Allah Swt.
وَنَفْسٍ وَمَا
سَوَّاهَا ﴿٧﴾فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا ﴿٨﴾
Demi
nafs serta penyempurna ciptaannya, Allah telah mengilhamkan kepadanya kebaikan
dan ketakwaan.(QS.As-Syams[91]: 7-8)
Mengilhamkan
berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik
dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan.
Untuk itulah titik tolak dari keshatan jiwa atau kepuasan diri adalah membenci
hawa nafsu. Berkatalah ibn abbas,
“
sumber dari maksiat, nafsu birahi, dan kelalaian adalah kesenangan pada hawa
nafsu. Sedangkan sumber dari ketaatan , keterjagaan, dan pengekangan diri dari
hal yang hina adalah membenci hawa nafsu. Bagimu berteman dengan orang bodoh
yang membenci hawa nafsu lebih baik ketimbang berteman dengan orang pandai yang
menyukai hawa nafsunya,.”
Bahwa
kualitas jiwa juga bergantung kepada kualitas fisik, terutama otak. Jika
kualitas fisik dan otak mengalami gangguan, maka jiwa juga akan mengalami
gangguan. Kerusakan pada otak menimbulkan kerusakan pada jiwa.[2]
Dalam
jiwa manusia terdapat potensi keagamaan secara fitrah yang berasal dari Allah.
Akan tetapi potensi itu tidak akan bisa muncul apabila di biarkan begitu saja
tanpa adanya usaha untuk mengembaklikan fitrah itu dengan jalan
membersihkannya, yaitu dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah untuk memperoleh
pencerahan dan bimbinganNya.[3]
Tingkatan
nafsu dalam Al-Qur’an dapat di jelaskan
sebagai berikut:
1. Nafsu
Ammarah Bissu’
Nafsu ini selalu melepaskan diri dari tantangan dan tidak
mau menentang, bahkan patuh tunduk saja kepada nafsu syahwat dan panggilan
syaitan. adalah ciri khas nafs ammarah bahwa ia membawa manusia kepada
keburukan yang bertentangan dengan kesempurnaannya serta bertolak belakang dari
keadaan akhlaknya dan ia menginginkan manusia supaya berjalan pada jalan yang
tidak baik dan buruk.
Dengan
ciri- ciri:
-nafsu
itu selalu menyuruh/ mengajak kepada kejahatan(amarah bissu’)
-dan
banyak sekali manusia yang menjadikan nafsunya sebagai illah
-manusia
yang seperti itu lebih sesat daripada binatang yang hanya punya nafsu saja,
karena mereka tidak mau menggunakan indera dan akalnya.
-oleh
karena itu jangan mengikuti nafsu tanpa ilmu pengetahuan, karena hendak
menyimpang dari kebenaran.
2. Nafsu
Lawwamah
Nafsu ini tidak/belum sempurna
ketenangannya karena selalu menentng atau melawan kejahatan tetapi suatu saat
teledor dan lalai berbakti kepada Allah, sehingga di cela dan di sesalinya.[4]
Allah
berfirman:
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat
menyesali ( dirinya sendiri). (Q.S.al-Qiyamah[75]: 2)
Jiwa yang mendapat cahaya hati sehinngga
bisa tersadar dari kelalaian yang telah di perbuatnya, setelah tersadar ia
senantiasa akan melakukan amal kebaikan, jika ia berbuat kejahatan maka hal itu
di sebabkan karena perangainya yang berasal dari kegelapan namun bila ia telah
mendapatka nur dari Allah maka ia segera akan menyesalinya serta bertobat dari
kejahatan yang telah di perbuatnya dengan mengucap istighfar serta meminta
ampunan-Nya, sehingga ia kembali kepada Tuhannya Maha Penganmpun.
Ringkasnya,
nafs ini merupakan keadaan akhlaki bagi jiwa di mana di dalam dirinya telah terdapat
akhlak fadhilah (budi pekerti luhur) dan
dia sudah jera dari kedurhakaan, akan tetapi belum lagi dapat menguasai diri
sepenuhnya.
3. Nafsu
Muthmainnah
Nafsu ini tenang pada suatu hal dan jauh dari
kegoncangan yang di sebabkan oleh bermacam- macam tantangan dan dari bisikan
syetan. Di katakan juga jiwa yang tenang
Jiwa yang telah menerima pencerahan,
ketenangan dan kedmaian,sebab telah terlepas dari pengaruh hawa nafsu materi,
hewani, dan kemakhlukan[5].
Dengan jiwa/ nafsu yang tenang manusia
akan kembali kepada-Nya dengan puas diridhoi-Nya.
Orang yang sempurna imannya dan menahan
diri dari keinginan nafsunya maka surgalah tempat tinggalnya, seperti firman
Allah:
“Adapun
orang yang merasa takut kepada kedudukan Rabbnya dan menahan diri dari
memperturutkan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surga itulah tempat
tinggalnya.” (QS. an-Nazi’at: 40-41)
Dia laksana air
mengalir dari atas ke bawah yang karena banyaknya dan tiada sesuatu yang
menghambatnya, maka air itu terjun dengan deras, begitu pula jiwa manusia tak
henti hentinya mengalir terus dan menjurus ke arah Tuhan. Ke arah inilah Allah
Ta’ala mengisyaratkan, “Hai jiwa yang mendapat ketenteraman dari Tu¬han!
Kembalilah kepada-Nya!”
Kesimpulan
Nafsu
adalah suatu keinginan yang harus dipenuhi. Nafsu sering berkonotasi negatif
seperti bernafsu besar
dan lain sebagainya. Dalam pandangan Al-Qur’an, nafs
diciptakan Allah swt. Dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta
mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan.
Tingkatan
nafsu ada tiga yakni nafsu ammarah bissu’(diri yang buruk), lawwamah (diri yang
menyesal), nafsu muthmainah(diri yang tenang), yang masing- masing mempunyai
kriteria sendiri.
Dengan
demikian Al-Qur’an memberikan penjelasan, bahwa sungguh beruntung orang yang
membersihkan dirinya dari sifat- sifat yang tidak baik agar tidak di ombang-
ambingkan oleh sifat- sifat tersebut, sehingga menjadi diri yang muthmainnah.
Diri yang muthmainnah adalah diri yang selalu mendapatkan ilham ketaqwan yang
mendorong kepada perbuatan baik.
kualitas
jiwa juga bergantung kepada kualitas fisik, terutama otak. Jika kualitas fisik
dan otak mengalami gangguan, maka jiwa juga akan mengalami gangguan. Kerusakan
pada otak menimbulkan kerusakan pada jiwa
Daftar
Pustaka
Adz- Dzakiey Hamdani Bakran, 2006, Psikologi Kenabian Memahami
Eksistensi Jiwa Nafs , Yogyakarta: Daristy.
Jumantoro Totok, 2001, Psikologi Dakwah, Surabaya: AMZAH.
Mustofa Agus, Menyelam Ke Samudra Ruh dan Jiwa, Surabaya:
PADAMA PRESS.
Sangkar Abu, 2006, Berguru Kepada Allah, Jakarta Selatan:
Yayasan Sholat Khusyu’.
Sururin, 2011, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar