..

Jumat, 08 Juni 2012

Masyarakat Samin di Bojonegoro


Masyarakat Samin Di Bojonegoro

Sedikit cerita dari saya .Sewaktu dalam perjalanan pulkam di bus saya duduk disebelah seorang pria, jangan negative thinking dulu. Waktu kami bercaap- cakap ternyata pria itu pandai sekali dalam hal sejarah maupun pemerintahan langsung saja. Satu obrolan yang sangat menambah pengetahuan saya tentang masyarakat samin yang berada di Bojonegoro.

Sepengetahuan saya di Bojonegoro memang ada yang namanya masyarakat samin tapi saya tidak tau dimana tepatnya. Sepengetahuan saya yang namanya masyarakat samin pada masa penjajahan adalah masyarakat yang berontak pada penjajah Belanda, dia tidak mau menjadi budak Belanda.

Dari informasi  yang saya dapat dari pria itu adalah bahwa msyarakat samin yang ada di Bojonegoro adalah masyarakat yang terpencil tinggalnya di dalam hutan daerah nggondang Bojonegoro, mereka tinggal di dalam hutan yang di dataran rendah mungkin saat ini jumlah mereka sudah bertambah, daerahnya sangat pelosok sekali dan sulit di jangkau oleh kendaraan. Masyarakat masih sangat kuno dan primitive mereka hanya makan singkong, ulat dan bahan pokok yang ada di daerah sekitar. Mereka tak begitu memperhatikan pendidikan hanya sebagian saja yang sekolah mendapat pendidikan.

Sejarah masyarakat samin itu dulu adalah akibat dari rasa trauma atas Kekerasan yang di lakukan oleh para penjajah Belanda.  Dahulu kan ada geraan 30 S PKI, dan orang samin itu di duga bagian dari PKI tersebut oleh orang belanda, sebab orang belanda susah membedakan antara rakyat biasa dan anggota PKI sehingga mereka menuduh orang samin itu adalah anggota PKI sehingga mereka banyak yang di siksa dan sebagiannya lari kehutan untuk berlindung  akibat rasa trauma atas kekerasan penjajah Belanda itu dan sampai saat ini mereka masih tinggal di dalah hutan itu. Begitulah cerita singkat tentang masyarakat samin yang ada di Bojonegoro Jawa Timur.

Kamis, 07 Juni 2012

makalah tafsir


AYAT-AYAT TABALIGH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Tafsir”
DISUSUN OLEH :
1.      Erma Ayu Septiani                                (B03211008)

Pembimbing:
Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag

FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN BKI/C1
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2011
TAFSIR
AYAT- AYAT TABALIGH
A.       QS  Al- Maidah [5] : 99                                                juz 7: hal 93-97

5_99.png
Artinya : “ Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah penyampaian, dan Allah mengetahui apa yang kamau lahirkan dan apa yang  kamu sembunyikan”.

1.      Tafsir Ibnu Kasir                           juz 7: hal 93-97
al maidah 96.2.pngal maidah 96.1.png

Dan diharamkan katas kalian (menangkap) binatang buruan di darat, selama kalian dalam ihram.(Al- maidah: 96)
Yakni selagi kalian masih dalam ihram diharamkan atas kalian melakukan pemburuan terhadap pemburuan binatang darat. Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. Untuk itu, apabila seseorang yang sedang ihram sengaja melakuakan perburuan, berdosalah ia dan dikenakan denda. Atau jika mereka melakukan secara keliru, maka dia harus membayar dendanya, dan dia di haramkan memakan hasil buruannya; karena binatang buruannya itu bagi dia kedudukannya sama denagn bangkai, demikian pula bagi orang lain dari kalangan orang- orang yang sedang ihram, juga orang- orang yang bertahallul, menurut Imam Malik dan menurut salah satu dari dua pendapat Imam Syafii. Hal yang sama dikatakan oleh Ata, Al-Qasim, Salim, Abu Yusuf, dan Muhammad Ibnu Hasan serta lain- lainnya.
Jika si muhrim yang memakannnya atau memakan sebagian dari binatang buruannya, apakah dia harus membayar denda yang ke dua? Ada dua pendapat mengenainya di kalangan para ulama.
pendapat pertama mengatakan harus membayar denda kedua.Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari Ata yang mengatakan, “ Jika orang muhrim yang bersangkutan sempat menyembelihnya, lalu memakannya, maka dia di kenakan dua kifarat.” Pendapat ini dipegang oleh segolongan ulama.
Pendapat kedua mengatakan, tidak ada denda atasnya karena memakan hasil buruannya. Pendapat ini di nashkan oleh Malik ibnu Anas. Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat inilah yang dipegang oleh semua mazhab ulama fiqih di kota- kota besar dan jumhur ulama. Kemudian Abu Umar menyamakannya dengan masalah” seandainya seseorang mengnjak dan menginjak serta menginjakan lagi sebelum ia dikenai human had, maka sesungguhnya yang di wajibkan atasnya ialah dikenai sekali hukuman had.”
Imam Abu Hanifah mengatakan, si pemakan di kenai harga sejumlah yang di makannya.
Abu Saur mengatakan,” Apabila seorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan, maka ia harus membayar dendanya, dan dihalalkan baginya memakan binatang buruannya itu; hanya saja iku memakruhkannya bagi orang yang membunuhnya,” karena ada hadis Rasulullah saw. Yang mengatakan :
Binatang buruan darat dihalalkan bagi kalian, sedangkan kalian dalam keadaan berihram, selagi kalian bukan yang memburunya atau bukan diburu untuk kalian.
Hadis ini akan dijelaskan kemudian. Kalimat yang mengatakan ‘boleh memakannya bagi orang yang membunuhnya’ merupakan hal yang garib (aneh)
Adapun bagi selain orang yang membunuhnya, masalahnya masih diperselisihkan, dan yang telah kami sebutkan ialah pendapat yang mengatakan tidak boleh. Sedangkan ulama lainnya mengaatakan selain pembunuhnya diperbolehkan memakannya, baik ia sedang ihram ataupun telah bertahallul, karena berdasarkan hadis yang baru disebutkan tadi.
Adapaun bila seseorang yang telah telah bertahallul membunuh binatang buruan, lalu ia menghadiahannya kepada orang yang berihram, maka sebagaian ulama ada yang mengatakan boleh secara mutlak tanpa ada rincian antara perburuan yang dilakukan secara sengaja untuknya atau tidak. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Umar ibnu Khattab, Abu Hurairah, Az-Zubair ibnu Awwam, Ka’ab Al-Anbar, Mujahid dan Ata dalam suatu riwayatnya, dan sa’id ibnu Jabair. Hal yang sama telah dikatakan oleh ulama Kufah.
Ibnu Jarir mengatakan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Bazi’, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Mufaddal, telah menceritakan kepada kami Sa’id, dari Qatadah, bahwa Abu Huraiah pernah ditanya mengenai daging dari hasil buruan yang dilakukan oleh orang yang bertahallul , apakah orang yang sedang ihram boleh memakanya. Kemudian ia menemui Umar ibnu Khattab, lalu menceritakan kepadanya tentang apa yang baru dialaminya, maka Umar bnu Khattab berkata kepadanya (Abu Hurairah),” Seandainya kamu memberi mereka fatwa selain dari ittu, niscaya aku akan membuat kepalamu terasa sakit ( karena dipukul).”
Ulama lain mengatakan, orang yang sedang ihram sama sekali tidak boleh memakan hasil buruan. Pendapat ini melarangnya secara mutlak karena berdasarkan kepada keumuman makna yang tekandung di dalam ayat yang mulia ini.
al maidah 96.2.pngal maidah 96.1.pngAbdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma’mar, dari Tawus dan Abdul Karim, dari ibnu Abu Asiah, dan Tawus dari Ibnu Abbas, bahwa ia menilai mekruh bila orang yang sedang ihram memakan hasil buruan. Dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat yang menerangkan tentangnya bersidat mubham (misteri), yakni firman Allah swt:

Di haramkan atas kalian (menangkap) binatang buruan darat, selama kalian dalam ihram.(Al-Maidah:96)
Abdur Razzaq mengatakan telah menceritakan kepada Ma’mar, dari Az-Zuhri. Dari Ibnu Umar, bahwa dia memakruhkan orang muhrim(yang sedang ihram) bila memakan daging hasil buruan dalam keadaan bagaimanapun.
Ma’mar mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ayyub, dari Nafi’ dari Ibu Umar hal yang semisal. Ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa hal yang sama telah dikatakan oleh Tawus dan Jabir ibnu Zaid.pendapat inilah yang dikatakan oleh As-Sauri dan Ishaq ibnu Rahawaih dalam suatu riwayatnya.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ali ibnu Abu Talib. Ibnu Jarir meriwayatkan melalui jalur Sa’id ibnu Abu Urabah dari Qatadah, dari Sa’id ibnu Musayyab, bahwa Ali ibnu Abu Talib memaruhkan bagi orang muhrim (yang sedang ihram) memakan daging hasil buruan dalam keadaan bagaimanapun.
Imam  malik, Syafii, Ahmad ibu Hambal, Iahaq ibnu Rahawaih dalam suatu riwyat serta jumhur ulama berpedapat: Jika orang yang telah bertahallul bermaksud melakukan peburuan untuk orang yang berihram, maka orang yang berihram itu tidak boleh memakannya, karena berdasarkan hadis As-Sa’b Jusamah; ia pernah menghadiahkan seekor kuda zebra hasil buruannya di Abwa atau Wuddan kepada Nabi saw. Melihat perubahan roman muka As-Sa’b ibnu Jusamah, beliau saw bersabda:
Sesungguhnya kami tidak sekali- klai mengembalikannya kepadamu melainkan karena kami sedang ihram
Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain dan mempunyai lafaz yang banyak. Jumhur ulama mengatakan, yang tersimpulkan dari hadis ini ialah “ Nabi saw, maka Nabi saw. Menolaknya”. Adapun jika perburuan dilakukan bukan untuk orang muhrim yang bersangkutan, maka ia di perbolehkan memakannya. Karena berdasarjan hadis Abu Qatadah ketika ia berburu kuda zebra, ia dalam keadaan tidak berihram, sedangkan teman- temannya dalam keadaan ihram. Lalu mereka tidak berani memakannya dan menanyakannya lebih dahulu kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw. Bersabda:
“ apakah ada seseorang dari kalian yang mengisyaratkan kepada binatang buruan ini atau ikut membantu membunuhnya?: Mereka menjawab,” Tida” Nabi saw. Bersabda ,” Kalau demuikian makanlah oleh kalian. “ dan asulullah saw. Sendiri ikut makan sebagian darinya.
Kisah ini disebutkan pula dalam kitab Sahihain dengan lafaz yang banyak.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Mansur dan Qutaibah ibnu Sa’id keduanya mengatakan bahwa telah menceritaan kepada kami Ya’qub ibnu Abdur Rahman, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Muttalib ibnu Abdullah ibnu Hantab, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. Telah bersabda; dan menurut Qutaibah dalam hadisnya, perawi pernah mendengar Rasulullah saw. Bersabda:
Binatang buruan darat dihalalkan bagi kalian menurut hadis Sa’id disebutkan bahwa sedangkan kalian dalam keadaan ihram selagi bukan alian sendiri yang memburunya atau bukan di buru untuk alian.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Immam Nasai; semunnya dari Qutaibah. Imam Turmuzi mengatakan, ia belum pernah mengenal bahwa Muttalib ernah mendengar dari Jabir.
Imam Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii telah meriwayatkannya melalui jalur Amr ibnu Abu Amr, dari maulannya ( yaitu Al-Muttalib), dan Jabir. Kemudian Imam Syafii mengatakan bahwa ia merupakan hadis yang paling baik dan paling tepat yang diriwayatkan dalam bab ini.
Imam Malik telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi’ah yang menceritakan bahwa ia pernah melihat Usman ibnu Affan di Al’-Arj dalam keadaan ihram di hari yang panas ( musim panas), sedangkan ia menutupi ( menaungi) wajahnya dengan kain urujuwan. Kemudian disuguhkan kepadanya daging hewan hasil buruan, lalu ia berkata kepada teman- temannya,” Makanlah oleh kalian.” Mereka berkata,” Mengapa engkau sendiri tidak ikut makan??” Khalifah Usman menjawab,” Sesungguhnya keadaanku tidaklah seperti kalian, sesugguhnya hewan buruan ini sengaja diburu hanya untukku.

2.      Tafsir Fi Zhilalil Qur’an                            Juz VII :  hal 335

“ Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan. Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.”
Ukuran Kebaikan dan Keburukan
Segmen ini di akhiri dengan mengemukakan sebuah timbangan yang di tegakkan Allah untuk mengukur nilai- nilai, dan untuk dipergunakan oleh orang muslim buat menimbang dan menetapkan perkara. Yaitu, timbangan yang menguatkan bobot  kebaikan dan meringankan bobot keburukan supaya, orang muslim tidak tertipu oleh banyak keburukan kapan pun waktu dan dalam kondisi bagaimanapun.

3.         Tafsir Al- Maraghi                                     jilid 7: hal 60-61


Tugas Rasul Hanya Menyamaikan, Sedangkan Perhitungan Terhadapa Amal Ada Di Tangan Allah
Setelah menjelaskan bahwa pembalasan itu ada pada kekuasaan Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, selanjutnya Allah menerangkan tugas Rasul
Kami telah mengutus Rasul kepada kalian untuk mempertakuti kalian dengan siksaan yag pedih pada sisi-Ku dan menyampaikan penjelasan yang mematahkan berbagai hujjah kalian. Tugas Rasul itu hanya menyampaikan risalah, sedangkan pemberian balasan adalah urusan Kami. Kami akan memberi pahala kepada orang yang taat, dan siksaan kepada orang yang durhaka. Kami mengetahui orang yang menaati segala perintah Kami dan orang yang durhaka serta meninggalkan perintah itu. Sebab, tidak ada sesuatu pun yang tidak Kami ketahui, baik yang di simpan di dalam dada maupun perbuatan yang jelas dan terang. Karena itu, betapa patut kalian takut kepada-Ku, dan janganlah kalian mendurhakai perintah-Ku
Di sini, terdapat ancaman yang keras bagi orang yang menentang dan mendurhakai perintah- perintah Allah. Juga terdapat pembatalan terhadap perbuatan orang- orang musyrik dan sesat, yaitu takut terhadap sembahan- sembahannya yang batil serta mencari keselamatan dari azab dengan safa’atnya.
Ringkasannya, kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan agama dan syari’at, sesudah itu yang bertanggung jawab di sisi Allah adalah orang- orang yang menerima penyampaina itu, Allah yang mengetahui berbagai keyakinan, perkataan dan perbuatan, baik yang mereka tampakkan maupun yang mereka sembunyikan, adalah Allah yang memberi mereka balasan sesuai dengan pengetahuan- Nya yang meliputi setiap zat atom di bumi dan langit. Dengan demikian, balasan-Nya adalah haq dan adil. Sesudah itu, dia akan menambahkan kebaikan dan karunia-Nya. Sebab itu, carilah kebahagiaan pada diri kalian sendiri, dan takutlah akan kehilangan kebahaiaan itu.
Mengenai pemberian syafa’at di akhirat, itu disebabkan doa Nabi saw. yang dikabulkan oleh Allah SWT. Hal itu telah ada pada ilmu Allah yang di kehendaki oleh kebijaksanaan-Nya, sesuai dengan apa yang telah di ungkapkan di dalam kitab-Nya, tanpa mempengaruhi ilmu dan kehendak-nya. Yang baru tidak berpengaruh terhadap yang qadim( yang lama).

4.         Tafsir Al- Azhar                                         jus VII : hal 84-85

“Tidak ada kewajiban bagi Rasul, melainkan menyampaikan”.
Ayat ini adalah penjelasan bahwasannya hak yang mutlak menentukan azab atau ampunan hanya semata- mata kepada Allah. Rasul sendiri tidak ada kekuasaan sedikitpun menentukan itu. Kewajiban Rasul hanya satu, yaitu menyampaikan petunjuk Allah kepada mahluk, yang ini di sukai Allah, dan yang itu dibenci-Nya. yang ini di suruh Allah, dan yang di larang-Nya . Sedikitpun dia tidak boleh menyembunyikan itu, sebagaimana yang telah disebut juga pada ayat- ayat yang lalu. Sebab itu batal dan tertolak lah persangkaan orang- orang musyrik dan tersesat, yang Mengharapkan Moga- Moga Rasul pun atau manusia pun dapat menolong mereka meringankan azab atau menambah pahala mereka.
“Dan Allah adalah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.”
Dengan lanjutan keterangan ini jelaslah lagi inti Tauhid. Tiap- tiap kita langsung bertanggung jawab kepada Allah , langsung dengan tidak ada perantara. Beramal dan beribadah karena Allah saja. Mana yang tidak  jelas, kita carikan keterangan dari Rasul. Jalan itu sudah terentang dan kita akan menempuh jalan itu Rasul menunjukkan kepada kita, di suruh menyampaikan kepada kita, bagaimana menempuh jalan itu yang di kehendaki oleh Allah. Rasul sekali- kali tidak membuat jalan sendiri. Maka segala tingkah- laku kita, apa yang kita perlihatkan dengan nyata dan apa yang kita sembunyikan, semuanya di ketahui oleh Allah.
Sampai kelak pun, seketika diadakan hisab (perhitungan) dan mizan (pertimbangan) di hadapan hadirat Ilahi di Akhirat, tiap- tiap kita bertanggung jawab langsung dihadapan Allah. Kalaupun Rasul- Rasul didatangkan dalam Majlis Pengadilan Tertinggi itu, beliau tiadapun juga dapat lahir dan bathin kita. Beliau hanya semata- mata dipanggil untuk menjadi saksi, apakah telah di sampaikannya apa yang dahulu mesti disampaikan kepada kita? Itulah sebabnya, seketika Abdullah bin Mas’ud disuruh Rasul saw membaca Al-Qur’an, sebaik sampai bacaanya kepada ayat 40 dari surat An- Nisa’, beliau menagis, sebab kasih mesranya kepada umatnya, seperti yang telah kita lihat tafsirnya terlebih dahulu. Beliau menangis, karena yang akan dapat menolong umat itu dari ancaman Allah hanyalah amal mereka sendiri.

5.         Tafsir Al- Misbah                                       volume 3: hal 195-196

“ Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah penyampaian, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.”
Setelah penyampaian informasi tentang ancaman dan janji, ayat ini menegaskan bahwa: Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah penyampaian, kewajiban larangan serta tuntunan Allah. Rasul- siapapun dia – tidak mengetahui isi hati manusia, dan karena itu dia tidak dapat menjatuhkan sanksi atau memberi ganjaran. Allah mengetahui apa yang dari saat ke saat kamu lahirkan dan apa yang dari saat ke saat kamu sembunyikan, baik yang berkaitan dengan larangan minum khamr, atau membunuh binatang buruan, demikian juga menyangkut iman dan kekufuran hati kamu, dan karena itu hanya Dia yang memberi ganjaran dan balasan. Adapun Rasul maka dia hanya dapat memberi putusan berdasar hal- hal lahiriah.
Kata (balag) termbil dari kata( balaga) yang beraati sampai. Dalam konteks ini adalah sampainya segala apa yang di perintahkan Allah kepada manusia.
Penyampain itu di lakukan Rasul saw. dengan lisan berupa perintah, larangan, teguran, atau nasehat dan juga dengan keteladanan di rumah, di jalan, di pasar dan di tempat- tempat umum yang di dengar dan dilihat langsung oleh para sahabat, bahkan oleh masyarakat ketika itu. Ini tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali, tetapi berulang- ulang dan tanpa jemu. Tuntunan Allah dalam kehidupan rumah tanggapun- yang sifatnya sangat rahasia – diketahui melalui isteri- isteri beliau. Inilah yang merupakan salah satu sebab mengapa beliau beristeri sekian kali( 13 orang isteri, Sembilan di antaranya dihimpun dalam satu waktu) karena seorang atau dua saja tidak akan mampu menampung segala tuntunan itu. Apa yang disampaikan Rasul itu, disampaikan lagi oleh generasi lalu ke generasi berikut, hingga dewasa ini.
Namun sekali lagi harus diingat bahwa tugas Rasul hanya menyampaikan. Beliau telah berusaha sekuat tenaga bahkan melebihi yang diharapkan dari beliau, sedng untuk menerima atau menolak diserahkan kepada masing- masing.” Siapa yang akan beriman maka disilahkan beriman dan siapa yang kafir maka dia sendiri yang menanggung dosanya.”


B.        QS. Ali- Imran [ 3 ] : 20


3_20.png
Artinya :  “ Kemudian jika mereka mendebat kamu ( tentang kebenaran islam), maka katakanlah, ‘aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang- orang yang mengikutiku.’ Katakanlah kepada orang- orang yang telah diberi Alkitab dan kepada orang- orang yang ummi, ‘ apakah kamu (mau) masuk islam?’ jika mereka masuk islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk . dan, jika mereka berpaling maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan ( ayat- ayat Allah). Allah Maha Melihat akan hamba- hamba-Nya.”

1.      Tafsir Ibnu Kasir                                       jilid 2: hal 36-39

Allah SWT berseru dalam ayat kedua puluh ini kepada Rasul-Nya Muhammad, jika mereka ahli kitab mendebatnya tentang tauhid keesan Allah, hendaklah ia menjawab dan berkata kepada mereka: “ Aku telah menyerhkan diriku dan mengikhlskan ibadahku hanya kepada-Nya sendiri. Tuhan yang Maha Esa, tidak bersekutu, tiada berlawan dan tidak beristeri, demikin pula orang- orang yang mngikuti agamaku berkata seperti kataku ini.” di lain ayat Allah berfirman pula:

yusuf 108.1.png


Artinya: “ Katakanlah (hai Muhammad) inilah jalan (agama)ku aku dan orang- orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allahdengan hujjh yang nyata.
Kemudian dalam ayat ini pula Allah memerintahkan kepada hamba dan pesuruh-Nya Muhammad agar mengaja para ahli kitab dan pada orang- orang musyrik mengikuti jalannya, memasuki agamanya dan menjalankan syari’atnya serta segala apa yang diutuskan oleh Allah kepadanya. Jika mereka masuk islam, maka mereka telah memperoleh hidayah, tetapi jika mereka berpaling dari ajakannya, maka kewajibannya hanyalah menyampaikan risalah Allah kepada mereka, sedang Allahlah yang akan mengadili mereka, karena kepada-Nya mereka akan kembali dan Dialah memberi hidayah kepada yang Dia kehendaki dan menyesatkan yang Dia kehendaki pula. Sesuai dengan hikmah dan hujjah-Nya yang kuat. Dan Allahlah yang Maha Mengetahui tentang hamba- hamba-Nya, siapa yang patut mendapat hidayah dan siapa pula yang patut disesatkan. Dia tak dapat di tanya tentang apa yang diperbuatnya, tetapi hamba- hamba-Nyalah yang harus mempertanggungkan kepadaNya segala tinda- tanduk dan perbuatan mereka.
Ayat ini diantara beberapa ayat serupa memberi petunjuk dan dalil yang nyata bahwa risalah Muhammad saw. Adalah untuk seluruh jagad dan semua umat manusia. Sebagaimana dapat diketahui dari ajaran- ajaran agamanya dan di tegasan dalam banyak ayat dan hadis. Di antaranya adalah firman Allah:

al-a'raf 158.2.png

Artinya: “ Katakanlah (hai Muhammad) bahwasanya aku adalah pesuruh Allah kepada kamu sekalian.”

al furqan 1.3.png


Artinya: “ Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam ( jin dan manusia).”
Menurut catatan sejarah yang turun- temurun di beritakan dan diriwayatkan oleh ahli- ahli hadits seperti Bukhari, Muslim dan lain- lainya, bahwa Rasulullah saw telah mengirim surat kepada raja- raja di beberapa bagian dumia dan kepada pemuka- pemuka umat manusia dari bangsa Arab dan bangsa- bangsa lain, kepad mereka yang ahli kitab maupun yang ummi yang musyrikin, mengajak mereka agar masuk islam dan kembali kejalan Allah. Hal mana telah dilakukan oleh beliau semata- mata sebagai realissi dari perintah Allah kepadanya selaku pesuruh kepada seluruh umat manusia.
Berkata Abu Hurairah menurut riwayat Abdurrazzaq bahwa Rasulullah saw be rsabda:
“Demi Allah yang nyawau berada di tangan-Nya, tiada seorang Yahudi atau seorang Nasrani dari umat ini, yang telah mendengar risalahku dan mati sebelum beriman kepada risalahku ini maka ia adalah tergolong ahli neraka.”
Bersabda Rasulullah:
Atinya: “Aku telah di utus oleh Allah kepada bangsa- bangsa yang berkulit merah dan yang berkulit hitam. Nabi- nabi sebelumku masing- masing di utus kepada kaumnya, sedang aku diutus untuk semua manusia.”
Berkata Imam Ahmad bahwa Anas r.a bercerita tentang seorang remaja Yahudi yang selain mengikuti Rasulullah menyiapan air wudhunya dan menjaga kedua sansalnya. Ia jatuh sakit pada suatu watu dan di jenguk oleh Rasulullah di rumahnya di mana ayahnya sedang duduk di sebelah kepalanya menjaga. Berseru Rasulullah kepada sang remaja itu.” Hai fulan katakanlah “ Lailaha Illallah.” Si remaja Yahudi itu tetap, bungkam seraya melihat wajah ayahnya. Lalu di ulanginya seruan itu oleh Rasulullah, namun ia tetap bungkam sambil melihat wajah ayahnya. Kemudian setelah sang ayah memerintahkan anaknya agar mengikuti serua Allah barulah ia melafazkan  “ Asyhadu An Lailaha ilallah, waannaka Rasulullah.” Lalu keluarlah Rasulullah dari rumah sang Yahudi seraya bersada:
Artinya: “ Alhamdulillah yang telah mengeluarkan dia dari neraka karena aku.”(riwayat Bukhari).

2.      Tafsir Fi Zhalalil Qur’an                                       Juz III  : 50

“ Kemudian jika mereka mendebat kamu ( tentang kebenaran islam), maka katakanlah, ‘Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang- orang yang mengikutiku.’ Katakanlah kepada orang- orang yang telah diberi Alkitab dan kepada orang- orang yang ummi, ‘ Apakah kamu (mau) masuk islam?’ jika mereka masuk islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk . dan, jika mereka berpaling maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan ( ayat- ayat Allah). Allah Maha Melihat akan hamba- hamba-Nya.”’
Tidak ada jalan untuk menambah penjelasan lagi sesudah itu, yaitu mengakui wahdatul-uluhiyyah wal-qawaamah. Dengan demikian, pasti islam dan ittiba’, atau tidak ada tauhid dan islam bagi orang yang mengelak dan mendebat seperti itu.
Di antara yang diwahyukan Allah kepada Rasulullah saw. Itu adalah sebuah kalimat,” Kemudian jika mereka mendebat kamu( tentang kebenaran islam), maka katakanlah, ‘ Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan ( demikian pula) orang- orang yang mengikutiku.’”
Perkataan “ittiba’” mengikuti disini memiliki tujuan dan bukan semata- mata pembenaran hati. Yaitu ‘ittiba’ mengikuti Rasulullah saw. , sebagaimana pengungkapan islamnya wajah (aslamtu wajhi) juga memiliki tujuan tertentu, yakni bukan semata- mata ucapan dengan lisan atau keyakinan dengan hati. Jadi, demikianlah islam, yaitu menyerah, patuh, taat, dan ittiba’. Dan, islamnya wajah merupakan kinayah ‘kata kiasan’ dari ketundukan dan ketaatan ini. Karena, wajah merupakan bagian tubuh manusia yang paling tinggi dan mulia. Maka, islamnya wajah merupakan gambaran kepatuhan, ketaatan, ketundukan, ittiba’, menyambut dan mematuhi.
Demikianlah iktikad Nabi Muhammad saw. Dan manhaj hidupnya. Kaum muslimin mengikuti beliau dalam iktikad dan manhaj hidupnya. Karena itu, tanyakanlah kepada ahli kitab dan orang- orang yang ummi ( tidak tau baca tulis) untuk mencari kejelasan dan perbedaan serta untuk member tanda yang membedakn bagi para lascar secara jelas sehingga tidak ada percampuran dan kesamaran,
“ Katakanlah kepada orang- orang yang telah diberi Alkitab dan kepada orang- orang ummi, apakah kamu (mau) masuk islam?”
Mereka itu sama saja, baik kaum musyrikin maupun Ahli kitab. Mereka diseur dan diajak masuk islam dengan pengertian seperti yang kami terangkan tadi. Mereka diseru untuk mengakui keesaan Zat Allah, keesaan uluhiyyah, dan keesaan qawaamah ‘ kepengurusan alam semesta’. Kemudian sesudah pengakuan ini, mereka diseru untuk tunduk dan patuh kepada segala segala sesuatu yang menjadi tuntutan tauhid itu. Yaitu, menjadikan kitab Allah sebagai hakim untuk memutuskan persoalan mereka dan menjadikannya manhaj ‘pedoman’ hidupnya,
“ Jika mereka masuk islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk.”
Petunjuk itu hanya terlukis dalam sebuah bentuk saja yaitu, bentuk islam, dengan hakikat dan tabi’atnya itu. Tidak ada bentuk, gambaran, pandangan, aturan, manhaj, dan jalan hidup lain yang melukiskan petunjuk itu. Karena, yang selain itu adalah kesesatan, kejahiliaahan, kebingungan, penyimpangan, dan penyelewengan.
“ Dan, jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan
ayat- ayat Allah).”
Maka, dengan menyampaikan ini selesailah tugas Rasul. Akan tetapi, hal ini adalah sebelum Allah memerintahkan memerangi orang- orang yang tidak mau menerim islam sehingga selesai. Yaitu, dengan memeluk islam dan mematuhi peraturan- peraturannya atau mengikat perjanjian untuk mematuhi peraturan dalam bntuk membayar jizyah, karena tidak diperbolehkan memaksakan iktikad (keyakinan, keoercayaan).
“ Allah Maha Melihat akan hamba- hamba-Nya.”
Yang mengurusi dan mengatur segala urusan mereka sesuai dengan pengawasan dan pengetahuanNya, dan seluruh urusan mereka kembali kepada-Nya dalam segala hal.
Akan tetapi, Allah tidak akan membiarkan mereka sebelum menjelaskan kepada mereka tempat kembali yang senantiasa menanti- nantikan mereka dan orang- orang yang seperti mereka sesuai dengan sunnah Allah  yang senantiasa berlaku terhadap orang- orang yang mendustakan dan menyeleweng.

3.      Tafsir  Al- Maraghi                                                jilid 3 : 211-212

1.png
Jika mereka ( kuffar/ ahlulkitab) menentangmu, maka Nabi pun mengajak orang- orang Yahudi di Madinah agar meninggalkan apa- apa yang dibuat- buat oleh mereka sendiri dalam agama, serta kebiasaan merubah dan mewakilkan secra absurditas. Nabi Muhammad saw.mengajak mereka mengacu pada hakikat agama, dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan ikhlas terhadap-Nya, setelah menjelaskan dan membuktikan kepada mereka. Maka katakanlah kepada mereka, “ aku hadapkan ibadahku hanya kepada Tuhanku dalam keadaan mengikhlaskan diri dan berpaling dari selain-Nya. Sesungguhnya aku dan orang- orang yang mengikutiku adalah termasuk orang- orang yang beriman.”
Kesimpulan: sesungguhnya berhujjah dihadapan orang- orang seperti mereka tidaklah ada gunanya, sebab, berhujjah hanya diperlukan bagi hal- hal yang masih samar. Sedangkan dalam hal ini  dalil- dalilnya tegas dan jelas. Sehingga batallah semua kesamaran bagi orang- orang yang sesat. Jika memang demikian berarti mereka takabur dan inkar yang tidak patut di layani kecuali hanya berpaling dari mereka, dan tidak menyia- nyiakan waktu untuk hal- hal yang tidak bermanfaat
2.png
2.png

Dan katakanlah kepada orang- orang Yahudi, Nasrani dan musyrikin Arab. Mereka di sebut secara khusus, padahal bi’tsah beliau bersifat umum. Tidak lain karena mereka adalah orang- orang pertama yang harus tersentuh  dakwah,” apakah kamu mau masuk islam sebagaimana aku islam sesudah aku jelaskan hujjah terhadap kamu dan telah datang kepadamu bukti- bukti yang mewajibkan dan menunjukkannya kearahnya. atau kamu masih tetap berpegang teguh pada kekufuranmu, dan enggan meninggalkan keingkaranmu itu?”
Perumpamaan seperti itu sama halnya dengan ringkasan suatu masalah terhadap seseorang yang bertanya. Penjelasan dengan sejelas- jelasnya dan sedetail- detailnya. Kemudian ia mengatakan kepadanya,” apakah kamu bias memahaminya?”
Hal itu mengandung ibarat ( contoh) bagi mereka yang menuduhnya sebagai orang- orang dungu dan berakal beku, di samping sebagai hinaan atas mereka yang nyata- nyata inkar dan tidak sadar.
3.png
4.2.png4.1.pngBila mereka sudi berserah diri terhadap agama islam yang merupakan ruh agama , berarti mereka telah mendapatkan keuntungan sangat banyak, dan selamat dari jurang kesesatan. Jika mereka masuk islam, mereka di tuntut mengikuti apa yang telah di datangkan padamu. Sebab, hanya dengan cara inilah hatinya menjadi terang dan menjurus pada kebenaran. Dan dia termasuk orang yang paling cepat menerima kebenaran, jika kebenaran itu segera tampak baginya.


Tetapi jika mereka berpaling dari kebenaran yang kau sampaikan padanya, hal itu tidaklah membahayakan sedikitpun bagi dirimu. Sebab tugasmu hanyalah menyampaikan dan engkau benar- benar telah menyampaikan dengan cara lebih sempurna dan lengkap.

5.png
Allah Maha Mengetahui orang- orang yang hatinya tertuup, dan mata hatinya diberi penghalang, sehingga tidak bias diharapkan lagi darinya memperoleh hidayah. Allah Maha Mengetahui orang- orang yang masih bias di harapkan mendapatkan hidayah dan taufik, sesudah datangnya risalah dakwah ini.

4.      Tafsir Al-Azhar                                          juz III : hal 186-187

“ Maka jika mereka membantah engkau, katakanlah: Aku telah menyerah diri kepada Allah, demikian juga orang- orang yang mengikutiku.”
Artinya, kalau sekiranya orang- orang ahlul kitab itu, baik mereka Yahudi yang tinggal di Madinah, maupun tetamu yang datang dari Najran itu, kalau mereka masih saja berbantah dengan engkau, katakanlah dengan terus terang bahwasanya engkau dan orang- orang yang menjadi pengikutmu telah mempunyai suatu pendirian yang bulat, yaitu menyerah diri kepada Allah , tegasnya islam. Pendirian kami telah jelas. Orang- orang yang mempergunakan akalnya pasti sampai kepad penyerahan diri kepada Allah. Tidak berkencong- kencong kepada yang lain dan tidak mempersekutukan.
Sekarang Rasulullah pula disuruh menanyakan kepada mereka:” Dan tanyakanlah kepada orang- orang yang telah diberi kitab itu.” baik mereka Yahudi yang telah menerima dan mengerti kitab Taurot, ataupun dia orang Nasrani yang mengakui telah menerima kitab Injil. Teranglah sudah bahwa inti sejati dari kitab- kitab itu ialah mengajak manusia  agar berserah diri kepada Allah, “ Dan kepada orang- orang yang ummi” yaitu orang- orang Arab sendiri yang tidak memeluk Yahudi atau Nasrani, tidak menerima Taurat atau Injil, tetapi mengakui bhawa mereka menerima ajaran Nabi Ibrahim, sedangkan Nabi Ibrahim pun mengakui penganut agama “ menyerah diri” tanyakanlah kepada mereka semuanya: sudahkah kamu menyerah diri? Sudahkah mereka islam? Sudahkah mereka kembali kepada ajaran agama dan kitab mereka yang asli, tidak dihambat- hambat oleh penafsiran  yang berbeda- bed, keputusan pendeta atau pihak kekuasaan?” maka jika mereka telah menyerah diri, maka sesungguhnya telah mendapat petunjuk mereka.” Dan jika mereka berpaling, maka tidk lain kewajiban engkau, hanylah menympaikan.” Jangan berhenti- henti menyampaikan seruan itu, agar mereka kembali kepada pokok asli agama, menyerah diri pada Tuhan.dn tegas kewajiban Rasul ini pula yang terpikul ke atas pundak kita pengikutnya yang datang di belakang, yaitu tidak berhenti- henti menyampaikan, menyerukan, dakwah dan tabligh.
“ Dan Allah adalah amat memandang kepada hambaNya.”
Selain ditilik dan dipandangi Tuhan bagaimana caranya hambaNya menegakkan keyakinannya dan menyampaikan seruannya. Kalau mereka idak melanjutkan tugas Rasul, yaitu bertabligh, kian lama kian gelaplah penerangan agama. Janagnkan orang lain yang akan dapat  diinsyfkan, bahkan yang tela ada didalampun bias tercampak keluar. Apakah lagi kalau agama itu hanya tinggal nama. Bernama Islam atau Muslim tetapi mereka tidak menyerah diri pada Tuhan. Dan akibat dari penyerahan diri itu tidak lain kpatuhan dan taat mengerjakan yang di perintahkan dan menghentikan yang di larang. Dan penyerahan itu menjadi bilat kepada yang satu, itulah tauhid. Dan itulah dia Islam yang sejati, dan siapa yang tidak insyaf merekapun menyerah diri kepada thaghut dan syaitan.

5.      Tafsir Al- Misbah                                       volume 2 : hal 42-45

“Maka  jika mereka mendebatmu, maka katakanlah, ‘aku menyerahkan wajahku kepada Allah dan (demikian pula) orang- orang yang mengikutiku.’ Dan Katakanlah kepada orang- orang yang telah diberi Alkitab dan kepada orang- orang yang ummi, ‘ apakah kamu telah menyerahkan diri kamu?’ jika mereka telah menyerahkan diri, maka sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk . dan, jika mereka berpaling maka kewajibamu hanyalah penyampaian ( ayat- ayat Allah). Allah Maha Melihat hamba- hamba-Nya.”
Jelas sudah ajaran Ilahi, keterangan telah terhidang, demikian pula bukti- bukti , dan ketahui juga alas an penolakan yang tidak logis dan tidak pula ilmiah itu. Jika demikian, mengapa harus melanjutkan diskusi? Biarkan saja mereka, whai Muhammad , maka karena jika mereka mendebatmu tentang keesaan Allah dan ajaran yang engkau bawa, maka katakanlah,” aku menyerahkan wajahku kepada Allah dan demikian pula orang- orang yang mengikutiku.”
Menyerahkan wajahku kepada Allah, yakni  menyerahkan seluruh totalitas jiwa dan ragaku kepada-Nya. Wajah adalah bagian yang paling menonjol dari sisi luar manusia. Ia paling jelas  menggambarkan identitas manusia. Jika satu sosok tertutup wajahnya, maka tidak mudah mengenal, siapa dia. Sebaliknya, jika seluruh sisi luarnya tertutup, kecuali wajahnya, maka dia dapat dibedakan  dari sosok yang lain , bahkan tanpa kesulitan dia dapat dikenal. Demikian wajah menjadi pertanda identitas. Wajah juga dapat menggambarkan sisi dalam manusia. Yang senang atau gembira, wajahnya terlihat ceria dan selalu tersenyum, sedang yang gundah atau kesal, wajahnya tampak muram dan mukanya masam.” Apabila disampaikan kepada mereka tentang kelahiran anak perempuan, wajahnya muram ( hitam) dan dia dalam keadaan sedh.” Demikian, lebih kurang maksud firman Allah dalam QS. An- Nahl [16]:58. Di sisi lain, al-Qur’an menginformasikan bahwa: “ di jari kemudian ada wajah yang putih berseri dan juga yang hitam muram. Adapun yang berseri wajahnya, maka ( mereka itulah ) yang menikmati rahmat Allah ( surgaNya) dan mereka kekal di dalamnya.”(QS.Al Imran [3]: 106-107).
Di wajah dan sekitarnya terdapat indera- indera manusia seperti mata, telinga, dan lidahnya, bahkan kepalanya pun yang di dalamnya terdapat otaknya tidak jaug dari wajahnya. Bias jadi karena itulah maka wajah di pilih oleh al-Qur’an dan Sunnah sebagai lambing totalitas manusia. Yang ikhlas melakukan aktivitas karena Allah, di namainya” menghendaki wajah Allah”, dan yang datang menghadap kepada-Nya , diharapkan datang dengan menghadapkan wajahnya.” Aku hadapka wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang- orang yang mempersekutukan Tuhan.” Demikian ucapan Nabi Ibrahim as. Ketika pencariannya tentang Tuhan berakhir dan yang di abadikan dalam surah al-An’am [6]: 79. “ aku menyerahkan wajahku kepada Allah dan ( demikian pula) orang- orang yang mengikutiku.”
Perhatikanlah ucapan yang di ajarkan ini. Nabi saw. Diperintahkan untuk menyebut dirinya terlebih dahulu dan dalam bentuk tunggal, baru kemudian menyebut pengiku- pengikutnya. Pemisahan itu bukan saja untuk mengisyaratkan, bahwa penyerahan wajah Rasul serta ke ikhlasan beliau lebih sempurna dari pengikut- pengikut beliau, tetapi juga, dan yang lebih penting adalah, bahwa tanggung jawab utama terletak di pundak beliau. Jangan meletakkan tanggung jawab kepada yang dipimpin, bahkan jangan membebani mereka dengan melupakan dirimu sebagai pemimpin. Kesan yang kita peroleh. Dalam ayat lain secara tegas dinyatakan: “ maka berjuanglah engkau (wahai Muhammad) di jalan Allah, tidaklah engkau di bebani melainkan dengan kewajiban atas dirimu sendiri. Dan kobarkanlah semangat para mukmin ( untuk berjuang)” (QS.an- Nisa’ [4]:48). Demikianlah, tanggung jawab menuntut agar pemimpin terlebih dahulu tampil ke depan, baru kemudian mengajak yang dipimpin.
Kemudian bagaimana dengan yang dipimpin? Ayat yang di tafsirkan ini, memerintahkan Nabi Muhammad saw. Dan demikian juga orang- orang yang mengikutiku. Demikian redaksi yang di gunakan. Beliau tidak di perintahkan untuk menyatakan “ Bukan orang- orang yang percaya kepadaku,” karena apalah arti percaya kalau tidak membuahkan hasil berupa keteladanan terhadap Rasul saw? Iman tanpa buah masih belum cukup.
Selanjutnya, walau diskusi telah berakhir, itu bukan berarti pintu hubungan telah tertutup rapat. Tidak! Pintu tetap terbuka lebar, dakwah tanpa paksaan masih harus digiatkan. Karena itu, lanjutan ayat diatas memerintahkan, di kali lain,- bahkan pada saat diskusi itu berakhir- sebagaimana di pahami dari pengulangan kata,” dan katakanlah.” Ajakan ini bukan hanya kepada orang- orang yang telah diberi al-Kitab, tetapi juga kepada orang- orang yang ummi, yakni mereka yang tidak mendapat kitab suci, khususnya orang- orang musyrik Mekah. Katakana kepada mereka,” Apakah kamu telah menyerahkan dirimu”, sebagaimana keadaan kami yang menyerahkan diri kepada-Nya?
Pertanyaan di atas mengisyaratkan, bahwa sebenarnya segala cara, bukti, dan dalil, telah ditempuh dan disampaikan sebelum ini. Diskusi yang di akhiri pada masa yang lalu telah berlangsung sekian lama. Masa antar diskusi itu dan ajakan kali ini merupakan kesempatan untuk berfikir dan merenungkan ajaran yang telah disampaikan dengan aneka bukti itu. Ini semua melahirkan optimiame sehingga pertanyaan yang di ajukan adalah, “ Apakah kamu telah menyerahkan dirimu kepada-nya?” nah, jika mereka telah menyerahkan diri, serupa dengan keadaan pengikut- pengikutmu, wahai Muhammad, maka sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka brpaling, dari ajakan ini dan enggan menyerahkan wajah kepada-Nya , maka biarkan mereka dengan pilihan mereka, jangan paksa mereka karea kewajibanmu hanylah penyampaian, ajakan dan ajaran; Allah yang akan menentukan bagaimana mereka selanjutnya karena Allah Maha Melihat hamba- hamba-Nya, yang taat kepada-Nya, demikian juga yang ingin mendekatkan diri dan taubat kepa-Nya. Penjelasan akhir ini dipahami dari penggunaan kata al- ibad yang biasanya digunakan al-Qur’an untuk hamba- hamba Allah yang taat, atau mau bertaubat. Sedang hamba- hamba-Nya yang durhaka dan bergeliman dalam dosa ditunjuk dengan menggunakan kata abid. Ditutupnya ayat di atas, sekali lagi menunjukkan bahwa pintu masih tetap terbuka lebar bagi siapapun untuk memperbaiki diri.



Daftar Pustaka


Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al Maraghi, juz VII, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992).
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al Maraghi, juz III, (Semarang:PT. Karya Toha Putra, 1993).
Hamka, Tafsir Al Azhar, juz VII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2007).
Hamka, Tafsir Al Azhar, juz III, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003).
M. Quraish Shihab, Tafsir AL Mishbah, Volume III, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2001).
M. Quraish Shihab, Tafsir AL Mishbah, Volume II, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2007).
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, jus VII, (Jakarta: Gema Insani , 2004).
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an, jus III, (Jakarta: Gema Insani, 2004).
H. Salim Bahreisy, Tafsir Ibnu Kasir, Jus VII,(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003)
Al-Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad- Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, juz VII, (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo Bandung, 2001).